Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dijalankan pemerintah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menekan potensi sengketa lahan. Namun, implementasi program ini di Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, justru memunculkan polemik.
Sejumlah warga mengaku kehilangan hak atas tanah yang selama ini mereka kuasai, bahkan beberapa di antaranya telah memiliki dokumen sah seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Akte Jual Beli (AJB).
Dari data yang dihimpun, program PTSL di Desa Balesari memiliki kuota sebesar 1.680 bidang tanah pada tahun 2024, dan 1.100 bidang pada tahun 2025. Namun, di tengah proses tersebut, warga mendapati bahwa lahan mereka telah terdaftar atas nama pihak lain melalui program PTSL tahun 2024, tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka.
Kasus ini dialami oleh sejumlah warga, di antaranya: Sudarto, Dina, Sri Rahayu Ningsih, keluarga Langgeng, keluarga Hari, Matali, dan Ponidi, yang semuanya merupakan pemilik lahan di Desa Balesari.
Salah satu warga, Insinyur Sudarto, disebut memiliki sertifikat tanah resmi (SHM No. 536) yang diterbitkan pada tahun 1999, dengan luas tanah 9.850 meter persegi. Namun, kini diketahui tanah tersebut telah beralih atas nama orang lain melalui program PTSL.
Warga lain, Dina, menyatakan bahwa tanah miliknya seluas 7.500 meter persegi yang telah dibuktikan dengan AJB (Akte Jual Beli), juga telah berubah status kepemilikan menjadi milik pihak lain. Peralihan hak ini baru ia ketahui setelah menerima surat somasi dari kuasa hukum pemilik baru yang memiliki sertifikat resmi hasil PTSL.
“Saya sangat terkejut dan merasa dirugikan. Tidak pernah menjual tanah tersebut, tapi tiba-tiba ada surat somasi yang mengklaim bahwa lahan itu sudah bersertifikat atas nama orang lain,” ungkap Dina kepada Sorotnews melalui sambungan telepon, Sabtu (23/8/2025).
Winarno, salah satu keluarga korban sekaligus Koordinator 8 Warga, menilai pelaksanaan PTSL di desanya tidak transparan. Ia mengkritisi pihak pemerintah desa dan panitia PTSL yang dinilai tidak memberikan informasi yang terbuka kepada warga pemilik tanah.
“Kami merasa dirugikan secara hukum dan ekonomi. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi menyangkut hak kepemilikan. Kami sudah berupaya klarifikasi ke kantor desa dan bahkan ke BPN Kabupaten Malang, namun belum ada penyelesaian yang jelas,” ujar Winarno, yang juga dikenal sebagai penggiat antikorupsi.
Winarno menambahkan, pihaknya akan menempuh jalur hukum. “Kami segera melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum, baik ke Polda Jawa Timur maupun Kejaksaan, karena ini menyangkut dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tanah,” tegasnya.
Beberapa warga juga mengaku baru menyadari adanya peralihan hak ketika mereka hendak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Nama yang tertera di dokumen pajak sudah berubah tanpa adanya permohonan perubahan dari pihak pemilik sebelumnya.
“Padahal kami tidak pernah menjual atau mengalihkan hak, tapi saat kami cek ke kantor Bapenda Kabupaten Malang, nama di PBB sudah berubah. Ini makin menguatkan dugaan bahwa proses sertifikasi melalui PTSL dilakukan tanpa verifikasi yang akurat,” kata Winarno.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik, mengingat program PTSL seharusnya memperkuat kepastian hukum, bukan sebaliknya. Warga berharap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malang serta pemerintah desa dapat segera memberikan klarifikasi terbuka dan mengambil langkah korektif.
“Kami menuntut keadilan dan kejelasan. Jika ada kekeliruan atau manipulasi data, maka harus diusut secara hukum. Hak atas tanah adalah hak dasar warga,” pungkas Winarno.**
